Sejarah Jurnalisme Warga

Jurnalisme Warga di Indonesia (Sebuah Hipotesa)

Jurnalisme warga di Indonesia sebenarnya tercatat dalam sejarah jurnalisme warga dunia. Yaitu pada “liputan” mengenai peristiwa tsunami Aceh. Pada saat itu ada seorang warga yang berhasil merekam detik-detik setelah gempa-sebelum tsunami dan detik-detik ketika air bah setinggi beberapa meter menghantam pemukiman warga tersebut.
 
Peristiwa ini menjadi rangkaian awal jurnalisme warga, selain pengeboman di sebuah sub way di Inggris dan Mumbai Attack. Namun setelah itu, praktis tak banyak lagi liputan spektakuler dari jurnalis warga di Indonesia. Termasuk pada peristiwa erupsi Merapi 2010 yang penulis amati. Memang ada beberapa rekaman tentang bentrokan dalam peristiwa demo. Namun tentu signifikansinya untuk level dunia terasa kecil dibanding misalnya rekaman pembunuhan Khadafy. Pengeboman di BEJ bisa menjadi “penghibur” jurnalisme warga di Indonesia, namun warga tersebut kurang cekatan menanggapi peristiwa.
Ada tiga hal yang membentuk karakter jurnalisme warga di Indonesia. Pertama, warga kelas menengah di Indonesia merupakan pasar empuk smart phone. Di negeri ini BB atau Iphone merupakan simbol status ekonomi. Maka warga kelas menengah pun berlomba memilikinya supaya bisa “naik kelas.”Kedua, budaya tutur, budaya ngrasani, budaya bergunjing yang tinggi. Maka jangan heran jika warga Indonesia menjadi salah satu penghuni utama jejaring sosial, terutama twitter dan FB. Ketiga, dan ini justru kontra produktif, yaitu rendahnya budaya baca dan tulis. Lihat saja berapa banyak siswa/mahasiswa kita yang memiliki text book sebagai pendukung proses studi mereka.
Ketiga hal tersebut membuat jurnalisme warga di Indonesia seperti saat ini. Pertama, banyak orang ingin menjadi jurnalis warga. Maksudnya banyak orang ingin ikut menyebarkan berita, banyak orang ingin ikut berkomentar sehingga komentarnya akan didengar orang lain. Dan banyak orang merasa menjadi pengamat politik. Maka kita bisa menemukan banyak pendapat di internet yang diposting via blog atau jejaring sosial. Sebagian dari orang-orang ini ingin diakui sebagai jurnalis warga.
Padahal jika kita lihat dari kata pembentuknya, kata “jurnalisme warga” terdiri dari kata “jurnalisme” dan kata “warga.” Secara sederhana, kata “jurnalisme” berasal dari kata “jurnal” (ingat pelajaran akuntansi) yang artinya “catatan.” Jika dalam akuntansi, kata “jurnal” artinya catatan transaksi. Maka secara umum kata “jurnal” artinya adalah catatan peristiwa, bukan catatan opini. Maka opini pribadi bukanlah karya jurnalisme warga. Jika Anda ingin menulis tentang opini tapi dalam format jurnalisme warga, wawancarailah orang lain, bukan menulis opini pribadi.
Kedua, orang Indonesia lebih senang menjadi penonton. Artinya orang Indonesia lebih senang copy paste dibanding menciptakan sendiri tulisan. Memang ada banyak blog, namun sebagian besar hanya mengopi dari media mainstream dan kemudian diberi komentar. Sebenarnya ini bukan karya jurnalisme warga. Ketiga, mereka yang mengaku jurnalis warga belum tentu melaksanakan prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Prinsip yang dimaksud misalnya 5W 1H. Artinya tulisan jurnalis warga di Indonesia cenderung tak lengkap. Bisa jadi peristiwa yang terjadi setahun yang lalu ditulis saat ini dengan meniadakan tanggal peristiwa. Hal seperti ini sangat riskan karena jika ceroboh, asal menulis, bisa terjerat pasal pencemaran nama baik, penghinaan dan lainnya.
Inilah sedikit catatan hipotesa dari jurnalisme warga di Indonesia. Agar menjadi lebih baik, maka jurnalis warga perlu belajar etika jurnalistik atau mengambil kursus jurnalistik.
Sejarah Jurnalisme Warga: Ketika Media Gagal menjalankan fungsinya
Gerakan jurnalisme warga muncul di Amerika Serikat, pasca pemilihan Presiden tahun 1988. Gerakan ini muncul ketika publik Amerika mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream. Pada tahun tersebut, George Bush mengalahkan Michael Dukakis dengan berbagai cara yang menurut pengamat akademis membodohi publik Amerika. Bush menjadikan Dukakis sebagai bahan ejekan, digambarkan mengenakan helm dan mengendarai tank, seperti seorang anak kecil memegang mainan berbahaya. Strategi macam ini terbukti sukses dalam mempengaruhi pemilih. Menurut Jay Rosen dan Davis Merrit, press Amerika saat itu telah gagal menciptakan wacana publik yang bermakna dan penuh aksi. Sebaliknya press malah berpihak pada konsultan politik dan berperan sebagai media pemasaran (Public Journalism and The Wichita Eagle 1988 to 1996, http://willsthesis.com/TheEagleRevised.doc).
Pada tahun 1999, para aktivis lingkungan mendirikan Independent Media Center (IMC) untuk merespon konferensi WTO yang dilaksanakan di Seattle Amerika Serikat. Berbagai upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian media internasional, akhirnya melahirkan model media alternatif. Sejak saat itu, gerakan Indymedia berkembang secara mengejutkan. IMC kemudian berkembang di berbagai pelosok dunia.
Model pewartaan semacam ini makin mendapat sambutan ketika internet berkembang. Berbagai layanan seperti weblogs, chat room, mailing list, bahkan layanan video seperti Youtube, memungkinkan siapapun menjadi pewarta. Salah satu contoh jurnalisme warga yang fenomenal di dunia adalah situs Oh My News. Berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan, situs ini pertama terbit 22 Februari 2000 dengan moto “Setiap Warga adalah Seorang Reporter”. Pemunculan Oh My News juga dilatarbelakangi pemilihan presiden Korea Selatan. Hingga kini Oh My News telah memiliki 60 ribu reporter seluruh dunia, 80% berasal dari citizen journalism dan hanya 40 orang berasal dari ”wartawan tradisional”.
Di Indonesia, bentuk paling familiar dari jurnalisme publik adalah radio, karena sebagian besar penduduk Indonesia lebih mengenal radio ketimbang internet. Model pelaporan Radio Elshinta oleh pendengarnya melalui telepon, mendapat respon yang cukup bagus. Sembari menunggu kemacetan lalu lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu lintas. Dari sinilah variasi berita mulai berkembang makin meluas, dari berita lokal hingga berita nasional seperti tsunami. Kelahiran radio komunitas di berbagai pelosok daerah makin menguatkan posisi jurnalisme oleh warga semacam ini. Selain itu, ketika pengguna internet makin meluas, warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika bermunculanlah blog atau web yang menerapkan model jurnalisme warga. Diantaranya http://www.panyingkul.com, halamansatu.com, wikimu.com, kabarindonesia dan lain sebagainya.
Masa depan Jurnalisme Warga: tantangan dan prospeknya
Gairah warga untuk memproduksi, mengkonsumsi sekaligus menyebarluaskan informasi merupakan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk desentralisasi informasi karena dulu informasi terpusat di tangan media. Dalam beberapa kasus, jurnalisme warga menempati posisi sebagai anjing penjaga ketika media dianggap tidak mampu menyampaikan laporan secara akurat atau penuh sensor. Kasus Nila, wartawan sebuah televisi swasta, yang menuangkan uneg-uneg ketika melakukan reportase di Malaysia di blognya merupakan salah satu contohnya (maverickid.blogspot.com/2007/01/malaysia-tourism-board-disappointing.html).
Menurut We Media, yang ditulis oleh Shayne Bowman and Chris Willis (http://www.hypergene.net/wemedia/weblog.php), Jurnalisme warga menimbulkan beberapa dampak positif sebagai berikut:
1. Partisipasi aktif dari warga -dalam hal ini adalah pembaca, pendengar, pemirsa.
Partisipasi aktif audiens dalam jurnalistik adalah hal lebih penting ketimbang konsumen berita yang pasif. Audiens akan merasa lebih tergerak untuk melakukan perubahan. Ini adalah syarat demokrasi sebagaimana yang disebutkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism.
2. Bagi media, jurnalisme warga menyediakan potensi untuk meningkatkan loyalitas dan hubungan saling percaya dengan audiensnya. Jurnalisme warga merupakan sebuah semangat ideal tentang hak masyarakat terhadap informasi.
Meski demikian, perkembangan jurnalisme warga yang makin meluas ini memunculkan sejumlah pertanyaan sekaligus tantangan. Persoalan etika, akurasi, kredibilitas atau pertanggungjawaban merupakan beberapa contoh isu yang sering diperdebatkan, baik oleh kalangan media konvesional maupun pegiat jurnalisme warga itu sendiri. Hal-hal tersebut dipertanyakan mengingat para pewarta ini umumnya tidak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik layaknya wartawan tradisional.
Bagi para pegiat jurnalisme warga, polemik mengenai kredibilitas dan berbagai isu tersebut hendaknya dimaknai sebagai upaya untuk membuat partisipasi warga makin terarah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mengolah informasi. Misalnya dengan mengubah informasi yang bersifat personal menjadi informasi yang bermanfaat bagi banyak orang. Dari sekedar memutar musik menjadi laporan-laporan info situasi terkini dari lingkungan sekitar. Memperkaya diri dengan pengetahuan jurnalistik dasar, agaknya perlu dilakukan oleh para pegiat jurnalisme warga. Misalnya dengan mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik.
Kembali ke soal pemilihan RT, siapa bilang pemilihan ketua RT tidak lebih penting ketimbang pemilihan presiden? Keduanya sama-sama punya nilai berita. Tapi hanya pewarta warga yang bisa melakukannya…Mau coba??

Related Post



Posting Komentar